23 Februari 2009

03. Sejarah Kawasan Ekowisata Tangkahan

Pada akhir abad ke 19 dan abad ke 20 penduduk Tanah Karo mulai berpindah/ merantau kearah Langkat untuk mencari sumber penghidupan baru, beberapa kampung diperbatasan kabupaten Langkat sekarang; Pamah Semelir, Sapo Padang, sampe raya dan kampung-kampung lainnya termasuk ke kampung-kampung didekat sumber air dan sungai di kawasan Tangkaahan. secara terpencar mulai dihuni , menetap serta berkeluarga. Selanjutnya penduduk dari suku karo tersebut lebih dikenal sebagai suku Karo Jahe (Karo Gugung; suku karo di tanah karo) dan pertanian sebagai mata pencaharian pokok.

Pada 1932, pemerintah Belanda mengeluarkan 'Ordonansi cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa' (Natuurmonumnten en Wildreservatenordonnantie 1932 ) Staatsblad 1932, no 17. Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No. 122/AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Pantai Barat. Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur. Kawasan Tangkahan termasuk didalam Suka Alam Langkat Barat (Natur Reservaat).

Kawasan Tangkahan pada awal abad ke 20 (tahun 1900an) merupakan kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung (natur reservaat) dan hutan produksi ), dimana model ladang berpindah-pindah maupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, kayu bakar, berburu dan lainnya merupakan bahagian dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam bingkai kearifan tradisional. Dan walaupun begitu, beberapa pengusaha dari luar memulai pengelolaan kayu pada era 1930an melibatkan penduduk lokal sebagai tenaga kerja ( generasi pertama). dan proses pengelolaan kayu dengan menggunakan alat tradisional dan diangkut ketepi sungai oleh beberapa ekor kerbau, dan dialirkan melalui sungai ke tanjung pura. Era ini merupakan langkah permulaan penduduk tersebut mencari sumber penghasilan baru selain bercocok tanam tanaman berumur panjang dengan pola Persil .Dan pada pertengahan tahun 1960 an dimulai gelombang pengelolaan kayu (generasi kedua ) yang lebih besar dengan melibatkan beberapa pemodal luar. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk , pasokan kayu tetap didistribusikan ke kota Tanjung Pura yang merupakan hilir sungai Batang Serangan. Sisa eksploitasi kayu tersebut menjadi areal perladangan masyarakat melalui SIM ( surat Izin Menggarap ), dan komoditi Nilam adalah salah satu komoditi unggulannya, disamping itu getah mayang dan jelutung sudah mulai dipungut oleh penduduk dengan agen dari luar serta beberapa tanaman lainnya.

Tahun 1978 - 1980 an, ditandai dengan era tanaman-tanaman perkebunan berskala besar terkait dengan kebijakan PRPTE Pemerintah untuk meningkatkan sektor non migas (pasca masa boom minyak) dan kawasan ini dibuka menjadi areal Perusahan Perkebunan milik negara. Dan kehidupan mulai berubah dengan adanya jalan penghubung melalui darat, berbaur dengan suku jawa dan suku-suku lainnya yang hadir seiring dengan adanya perkebunan Kelapa sawit tersebut. Dan era ini ditandai dengan perubahan pola bercocok tanam kepada tanaman perkebunan (karet, kelapa sawit dan coklat ) secara lebih intensif. Dan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pembukaan areal hutan untuk perkebunan semakin luas dan ditetapkannya kawasan hutan tersebut menjadi Taman Nasional pada awal 1980 tidak mampu menghentikan aktivitas pengambilan kayu yang sudah tidak terbatas antara kawasan Hutan Produksi atau Taman Nasional. Serta selama puluhan tahun aktivitas pengambilan kayu sudah merupakan sistem nilai yang menjadi kebiasaan penduduk.

Dan pada era ini, pembelian kayu tidak lagi dimonopoli oleh beberapa orang tetapi secara bebas apabila pemodal memiliki uang yang cukup serta barisan pelindung maupun memiliki tenaga kerja yang handal dapat menentukan ancak (wilayah tebangan). Fenomena ini membangun partisipasi luas pencurian kayu melalui jalur sungai dan darat. Dan membuka persaingan ketat diantara mereka sendiri dan menguntungkan bagi aparat pelindungnya. yang mendorong perpecahan demi perpecahan diantara cukong kayu dan para spekulan tanah dalam pembahagian wilayah pembalakan kayu dan perambahan, sehingga terbentuk kelompok-kelompok dengan batas teritorial dan perlindungan masing-masing. Dan sangat sering terjadi konfrontasi dan konflik horizontal yang disisi lain menguntungkan bagi oknum pemerintah (Polisi hutan/aparat), walaupun akhirnya diantara mereka terjadi juga tarik menarik yang cukup kuat dilapangan. pada pertengahan 1980 s/d 1990-an Sebahagian kelompok dominan (illegal logger) dengan cukong/pemodal baru merambah ancak wilayah penebangan kelompok lain menyebabkan konflik horizontal dan sebahagian diproses hukum (ditangkap petugas yang memiliki benang merah atas laporan kelompok ilegal logging lain yang mau merebut wilayah penebangan) fenomena-fenomena seperti itu sering terjadi diwilayah ini, dimana konflik selalu terjadi dengan menggunakan pihak ketiga dan sistem nilai yang berlaku adalah pembatasan ruang nilai lebih dari orang lain secara zig zag sosial (pengistilahan; Cianisme) dimana pranata sosial yang begitu lentur, fleksibel, terpencar dan menutup diri terhadap orang luar akan tetapi menyatu dan saling membuka diri didalam benang merah maupun penyelesaian secara adat istiadat maupun oleh tokoh yang dituakan. proses tersebut terus berdinamika, sehingga posisi relasi permanen sampai kapanpun tidak bisa ditentukan; akan tetapi dapat disatukan dalam proses arih-arih (musyawarah) maupun simpul tokoh - tokoh yang dihormati secara adat dan sosial melalui ikatan dan benang merah kepentingan. Baik kepentingan umum maupun pribadinya.

Akhir 1980an, beberapa tokoh l bebas dari penjara (kasus illegal logging), sebahagian meneruskan aktivitasnya dan sebahagian lagi menginisiatif membuka object wisata yang selanjutnya diikuti oleh beberapa tokoh masyarakat dan pemuda didusun setempat ; Kuala Gemoh dan Kuala Buluh (Desa Namo Sialang), dengan berjualan makanan dan minuman di lokasi, serta jasa penyeberangan sungai, pengamanan jasa parkir kendaraan maupun kegiatan-kegiatan lain yang berskala kecil-kecilan. Kepala Desa Namo Sialang saat itu menerapkan Retribusi Desa melalui karcis masuk dan dilakukan hiburan-hiburan musik tradisional. arus kunjungan wisatawan lokal meningkat secara signifikan (mass tourism, 2.000 kunjungan / minggu, awal 1990an). Seiring dengan peningkatan jumlah kunjungan, diikuti pula oleh konflik aset. Dimana masing-masing kelompok sosial secara bergantian merebut ancak dari pendapatan wisata, silih berganti yang memegang kendali di kawasan pariwisata Tangkahan saat itu. Dan kelompok yang dirugikan akan melakukan hal-hal yang mempermalukan kelompok yang menang sehingga sering terjadi; pungutan liar, pencurian maupun hal-hal lainnya. Yang bukan dilakukan oleh penduduk setempat tetapi oleh penduduk luar. Dan pada era awal tahun 1990an : terjadi polarisasi konflik yang cukup rumit, dimana terjadi konflik internal antara Pariwisata itu sendiri dan konflik perebutan wilayah diantara pelakunya yang masih beraktivitas dengan leluasa saat itu. Dan antara illegal logging dan Pariwisata tidak memiliki garis tarik menarik maupun tolak menolak.

Seiring dengan itu, pemandu wisata dari Bukit Lawang mulai membawa tamu mancanegara melalui hutan (jungle track), dan seiring dengan itu pula beberapa warga negara asing yang memiliki suami pemandu wisata di Bukit Lawang mulai menginvestasikan akomodasi (Penginapan Bamboo River 1995, Penginapan Jungle Lodge 1997) dan arus wisatawan yang melalui jalur hutan mulai bersinggungan dengan aktivitas ilegal logging. Dan sejak itu wacana maupun berita tentang Ilegal logging mulai sampai kedunia internasional seiring dengan promosi kawasan Tangkahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Beberapa kali terjadi konflik didalam hutan antara pemandu wisata dan pelaku illegal logging. Sementara aktivitas pariwisata masih terus berjalan dengan tarik menarik yang cukup kuat dalam pengelolaannya.

Akhir 1999, tokoh-tokoh masyarakat dari desa di sekitar kawasan Tangkahan memberikan informasi yang sangat vital untuk melakukan operasi dan mengumpulkan para wisatawan , pemandu wisata dan tokoh-tokoh masyarakat Bukit Lawang mufakat merumuskan agenda bersama untuk pemberantasan illegal logging. Beberapa kali proses investigasi dilakukan dan pada januari tahun 2000 terbentuklah Front Peduli Lingkungan Hidup (FPLH). Awal maret tahun 2000, dilakukan aksi unjuk rasa pertama kali ke Kantor Wilayah Kehutanan Sumatera Utara di Medan dengan melibatkan puluhan wisatawan dan wartawan asing, masyarakat Bukit Lawang dan pelajar-pelajar Sekolah menengah Umum di Medan serta dukungan berbagai kelompok gerakan mahasiswa. Aksi ribuan demonstran tersebut membangunkan 29 LSM Sumatera Utara dan Aceh untuk bangkit menggugat Pemerintah dan membentuk KPLH-KEL . Departemen Kehutanan tersentak dan segera menurunkan Soeripto (Sekjend Departemen Kehutanan saat itu ) untuk melakukan peninjauan langsung dengan pesawat disekeliling Leuser dan merekomendasikan operasi gabungan diberbagai tempat secepatnya.

Operasi gabungan yang terjadi di Tangkahan, melahirkan konflik horizontal antara pelindung Ilegal logging dengan pemiliki penginapan yang ditempati para aparat pada saat operasi terjadi. Dan konflik tersebut membawa ratusan pemuda dari luar, secara langsung dan tidak langsung meredam seluruh konflik yang terjadi. Baik konflik tentang Pariwisata maupun konflik tentang Ilegal logging itu sendiri. Dan berbagai aktivitas di Tangkahan saat itu terhenti total selama beberapa waktu. begitu juga aktivitas FPLH di Medan dan Bukit Lawang terhenti total karena penyelesaian permasalahan telah dibawa oleh KPLH_KEL melalui proses litigasi dan peradilan. Sementara itu Kepala Balai TNGL Saat itu (Ir. Adi Susmianto,MSc ) menginisiatif suatu strategi baru kepada masyarakat sekitar hutan " Hutan A dikelola oleh Masyarakat Desa A " bersama-sama dengan Balai TNGL secara legal formal.

Kebangkitan Pariwisata kembali bermula dan dipelopori oleh Pemuda dan Pemudi di Desa Namo Sialang dan Desa Sungai Serdang yang menginginkan perubahan social dan ekonomi, obsesi modernisasi, dengan pengembangan pariwisata maka dibentuklah Tangkahan Simalem Ranger pada 22 April 2001 sebuah perkumpulan yang mempelopori pengembangan bukan hanya sungai tetapi hutan dapat menjadi tempat Pariwisata seperti di Bukit Lawang dan berbagai aktivitas-aktivitas pembalakan kayu dan perambahan {yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri ) harus dihentikan . Gerakan pemuda - pemudi tersebut berubah menjadi sebuah Gerakan social di desa Namo Sialang dan desa Sei.Serdang, dimana mereka aktif dalam aktivitas sosial desa, musyawarah maupun berbagai kegiatan adat. Yang akhirnya menarik simpati kalangan orang tua, melibatkan berbagai lapisan masyarakat , mendorong terciptanya sebuah gagasan baru. Dan gerakan ini mempengaruhi banyak pola pikir baru masayarak tentang nilai-nilai keorganisasian

Akhirnya pada tanggal 19 Mei tahun 2001 atas inisiatif Tangkahan Simalem Ranger berkumpulah pemimpin-pemimpin kelompok Penebang , perambah dan tokoh-tokoh masyarakat dan perangkat Desa Namo Salang dan Desa Sei.Serdang yang kemarin terlibat konflik secara langsung maupun tidak langsung dan bersepakat untuk mengembangkan Pariwisata. Dan menetapkan beberapa tokoh sebagai Dewan Pengurus . Dan musyawarah ini kemudian disebut sebagai Kongres I Lembaga Pariwisata Tangkahan dengan melalui proses pemungutan suara untuk memilih Dewan Pengurus, AD/ART dan menyusun dasar-dasar pengembangan Pariwisata. Dan hari itu disebut sebagai Kongress I dan merupakan tonggak penting dalam pelestarian Taman Nasional Gunung Leuser dikemudian hari oleh masyarakat sekita hutan. Dan merupakan prestasi Pemuda - pemudi local dalam Tangkahan Simalem Ranger yang saat itu hanya berpikir sederhana tentang pariwisata bukan pada aspek luas lainnya..

Seiring waktu berjalan, Karena objek wisata yang cukup menarik semua terdapat di dalam Taman Nasional, maka Lembaga Pariwisata Tangkahan menyepakati sebuah bentuk kerjasama (MoU) dengan Balai Taman Nasional Gunung Leuser dan ditandatangani pada 22 April 2002 oleh Kepala Balai TNGL saat itu (Ir. Awriya Ibrahim,MSc ) selaku pemangku Kawasan untuk memberikan hak kelola Taman Nasional kepada masyarakat Desa Namo Sialang dan Desa Sei.Serdang melalui Lembaga Pariwisata Tangkahan (Bapak Njuhang Pinem ) sebagai ketua umum Lembaga Pariwisata Tangkahan dimana penandatanganan tersebut merupakan hal yang cukup berani dilakukan pada saat itu karena merupakan suatu property right (Aset kolektif ) seluas kurang lebih 17.500 ha zona Inti TNGL (batas administrative desa ) untuk pengembangan Ekowisata . Dan sebagai kewajibannya masyarakat desa Namo Sialang dan Masyarakat desa Sei.Serdang bertanggung jawab penuh didalam pengamanan dan kelestarian Taman Nasional Gunung Leuser yang berbatasan dengan wilayah desa tersebut. Dan seiring waktu berjalan kekhawatiran banyak pihak tentang penandatanganan tersebut tidak terbukti, malah dapat menjadi moment penting di TN. Gunung Leuser selanjutnya untuk menginisiasi kolaborasi managemen sebelum diterbitkannya P.19 / Tahun 2004 tentang kolaborasi managemen kawasan KPA dan KSA. Dan kini acuan kolaborasi tersebut serta berbagai sistem dan strategi pengembangan kawasan telah banyak diadopsi ditingkat nasional dan internasional.

Akan tetapi, proses penandatangan MoU tersebut bukan dapat secara langsung menghentikan berbagai aktivitas Ilegal logging, perambahan maupun aktivitas perusakan sumber daya alam lainnya. Akan tetapi selalu dihiasi oleh konflik demi konflik ditingkat lokal, hingga dilakukan beberapa kesepakatan secara formal dan informal serta beberapa komitmen sosial . Dan sepanjang tahun 2002 merupakan masa yang paling sulit dalam beberapa waktu berjalan untuk proses penyesuaian dan integrasi sosial antara LPT dengan berbagai kelompok-kelompok lain. Hingga dicapai kesepakatan untuk melaksanakan Kongres ke II pada awal tahun 2003. Dan dukungan berbagai pihak diundang untuk membantu proses pengembangannya; seperti Kelompok - kelompok Pecinta Alam, Pramuka, Organisasi Non Pemerintah dan para mahasiswa-mahasiwa dari berbagai kemampuan dan keterampilan yang dimiliki untuk membantu masyarakat . UML dan INDECON membantu dalam perumusan Rencana Induk Pengembangan ( RIP) dan Fauna Flora Internasional melakukan program patroli gajah untuk mendukung pengamanan kawasan.Disamping peranan utama dari Balai TNGL dan Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat.

Kongres LPT ke II tahun 2003, merupakan moment bersejarah untuk merubah LPT sebagai organisasi terbuka untuk seluruh masyarakat di dua Desa, dimana seluruh penduduk adalah merupakan anggota LPT yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dimana didalam proses Restrukturisasi, Tangkahan Simalem Ranger masuk menjadi salah satu Departemen LPT. Pemuda-pemuda dan tokoh sosial yang berpengaruh terpilih sebagai kepengurusan untuk tahun 2003-2006. Dan dirumuskannya XIX BAB dan 55 pasal Peraturan Desa tentang Undang-Undang Kawasan Ekowisata Tangkahan yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan sosial, pelestarian sumber daya alam, ekonomi lokal, peranan pemuda, adat, agama dan penataan ruang kawasan dalam pengembangan ekowisata. Dan peraturan desa ini merupakan Peraturan desa yang pertama disusun secara partisipatif yang mengatur tentang konservasi dan pranata sosial secara langsung, sebelum diadopsi kebanyak tempat. Dan tahun 2003 juga ditandai dengan penandatangan pembahagian PERMIT/SIMAKSI ( PNBP) antara Kepala Balai TNGL saat itu ( Ir. Hart Lamer Susetyo ) dengan Ketua Umum LPT Periode 2003-2006 (Bp. Njuhang Pinem) dan juga dukungan pembangunan fisik dan sarana prasarana yang pertama kali dilaksanakan. Disamping dukungan dari INDECON, FFI dan UML serta berbagai NGO dan Pemka. Langkat.

Dan awal tahun 2006, ditandai dengan Kongres ke III LPT, penandatangan MoU tahap ke II yang merupakan penguatan daripada MoU 22 April 2002 ditandatangani pada 23 Juli 2006 antara Kepala Balai TNGL (Ir. Wiratno,MSc) dan Ketua Umum LPT (M.Tanden Bangun). dimana berdasarkan P.19 / 2004 LPT secara kolaborasi dapat memanfaatkan berbagai jasa lingkungan dari TNGL. Dan LPT membentuk Badan Usaha Miliki Lembaga (BUML) untuk mengelola jasa lingkungan tersebut. Dan dimulailah era integrasi antara ekonomi dan ekologi di kawasan Ekowisata Tangkahan dalam semangat kolaborasi untuk melahirkan gelombang besar perubahan di TN.Gunung Leuser.


source by http://www.gunungleuser.or.id/sejarah_kawasan_ekowisata_tangkahan.htm

02. PICTURES OF TANGKAHAN





01. INFORMATION ABOUT TANGKAHAN

Tangkahan is sometimes mentioned as the HIDDEN PARADISE IN SUMATRA. It is definitely hidden and for many a paradise. It is the perfect place to get off the beaten track, but still have access to nice food and comfortable bungalows.

Tangkahan is an interesting place in many ways. Interesting for what it has to offer and an interesting background. The elephants, the jungle, and the clean rivers are obvious attractions. What makes Tangkahan different is that it is a good example on how community based eco-tourism can stop illegal logging, improve livelihood, and develop a sense of pride amongst the locals. This development on the border of Leuser National Park where the bigger river Batang Serangan meets the smaller river Sungai Musam is the hidden paradise of Tangkahan.

  • Join the forest rangers on their elephants when they patrol the jungle!
  • Float down the clear river!
  • Go jungle trekking!
  • Soak yourself in hot springs!

Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) is a local organization formed with the purpose to develop eco-tourism as a new form of lively hood and in this way prevent illegal logging. The idea was successful and illegal logging was effectively stopped in 2001. Indecon helped establish LPT and gave training in guiding, handicraft, etc.

The Community Response Unit (CRU) was formed by Fauna & Flora International and elephants were brought in to Tangkahan from Aceh. In some areas where humans and elephants often come in conflict over land use, elephants have been removed to a few "elephant schools". One of these is in Saree, south of Banda Aceh. In Tangkahan the elephants were given a new dual function:

  1. They directly help the rangers to patrol the forest of the national park against illegal logging.
  2. As an eco-tourism attraction they improve the livelihood of the local communities and in this way indirectly prevent illegal logging.
TRANSPORTATION

* by public bus
from medan to tangkahan , you can take the bus at TERMINAL PINANG BARIS, a Pembangunan Semesta bus at 08.00 - 10.00 - 13.00 everyday. it cost only Rp.15.000/person
from tangkahan to medan, the same bus at 05.30 - 07.30 - 14.00 with the same price.
or if you dont get the bus at that time , you can take the bus from the same place with the destination to SIMPANG ROBERT, and after that you can take a OJEK (motorcycle) to tangkahan and pay around Rp.25.000 - 30.000/person.

* rent car
usually, rent car from medan to tangkahan is around 400.000 - 500.000 / car / one way

from tangkahan you can go to bukit lawang by trekking, or OJEK with cost around Rp. 125.000 - 150.000 for 2 hours offroad trip.

the bus will be stop at in front of the VISITOR CENTRE and after that you need to pay for the ticket fee Rp. 2.000 / person and cross the river by a GETEK (wood boat) Rp. 10.000/persons for western people , and Rp. 5.000/persons for local people. only pay for one time and its valid for 3 days.

ACCOMODATIONS

*MEGA INN , 6 bungalow rooms, with bathroom inside, the first guest house you get when you reach tangkahan and after cross the river. very cozy place with the friendly owner. price from 75.000 - up / night . Contact person to booking : Mr.Mega Depari +6281370454572 / +6281370211009 or Mr.Ferry +6281265565351
* Bamboo river inn, 5 rooms with bathroom inside. price from 110.000/night
* JUNGLE lodge , with 12 rooms with bathroom inside price from 100.000 - 160.000 / night. Contact person : +628137633 4787
* GREEN LODGE , near CRU (conservation rescue unit) price start from 100.000 / night

all the accomodation is not include breakfast. there is no electricity at tangkahan, so they use genset from 18.30 from 23.00 everyday to turn on the electric

ACTIVITIES
* trekking (jungle trek, family trek, etc) price is conditional with the trek.
* washing elephants at 9.00 and 16.00 , price Rp. 30.000 / persons
* hot springs (free of charge)
* tubbing to the waterfall (price is conditional)
* trekking with elephants
*etc

FOODs
there's a restaurant at the guest house with many menu from international to national food

so, if you like the adventure and back to nature.. please come and visit here...


for further information you can visit
www.ocyd85.blogspot.com or contact to +6281263045125 (ms.orchid)

regards,

~O~